![]() |
Y. Antika Ningsih, S.Ak., CTA, CMM, CITA, CIAPS, CPITA, CEAP, CMFC, CTPA1, RFA. |
LintasPortal.com - Lebih dari 14 tahun saya berkecimpung di bidang pengelolaan keuangan, akuntansi, dan perpajakan. Dalam kurun waktu ini, saya melihat bagaimana perubahan pesat yang terjadi pada kebijakan fiskal serta perkembangan teknologi dalam bidang perpajakan. Angin perubahan pada bidang teknologi dan digitalisasi bukanlah wacana di masa yang akan datang. Saat ini hal tersebut telah terjadi dan mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem perpajakan.
Digitalisasi seharusnya mendorong efisiensi pengelolaan pajak. Dengan sistem yang semakin canggih dan terintegrasi, seperti e-faktur, e-bupot, e-SPT dan Coretax, kebocoran penerimaan semakin tidak mungkin terjadi. Kini, otoritas pajak memilik data yang jauh lebih akurat dan faktual untuk diandalkan, dan tidak ada minggatan ‘lupa’ untuk menghindar. Bagi otoritas pajak, penerapan sistem digital memudahkan visibilitas dan kendali dalam memantau kepatuhan serta potensi penerimaan negara.
Namun, pengalaman membuktikan bahwa hanya bergantung pada teknologi tidaklah cukup. Di pihak wajib pajak, serta petugas pajak, kendala transisi digitalisasi memerlukan kesiapan dan edukasi Sumber Daya Manusia yang masif. Tidak jarang saya menjumpai pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah yang kebingungan pada sistem baru, atau berpotensi terjerat problem pengenaan sanksi.
Melihat dari sisi sejarah, sistem perpajakan di Indonesia ini telah mengalami banyak sekali perubahan yang signifikan.
Pada tahun 2008 DJP mulai memperkenalkan e-SPT sebagai langkah awal digitalisasi pelaporan pajak, selanjutnya di tahun 2011 diperkenalkan secara terbatas sistem e-Billing, namun masih bersifat opsional. 2 tahun kemudian di tahun 2013 Proses modernisasi sistem administrasi perpajakan dimulai, dengan penguatan sistem backend DJP dan infrastruktur teknologi informasi. Pada tahun 2015 tahun tersebut menjadi tonggak reformasi perpajakan di Indonesia penggunaan e-Billing diwajibkan secara nasional. Wajib pajak tidak lagi diperkenankan menggunakan SSP manual. Di saat yang sama, penerapan e-Faktur mulai diberlakukan secara bertahap untuk PKP (Pengusaha Kena Pajak). Setahun kemudian di 2016 Diluncurkan portal DJP Online sebagai platform terpadu untuk pelaporan dan pembayaran pajak. Hal ini menyederhanakan akses layanan pajak secara daring, baik untuk pelaporan, pembayaran, maupun administrasi lainnya.
Tahun 2017 Penggunaan e-Filing SPT Tahunan mulai meluas. WP pribadi maupun badan mulai terbiasa
menyampaikan laporan pajaknya secara elektronik, mengurangi antrian dan beban
administrasi di kantor pajak. Di 2018 Mulai diberlakukan validasi NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) sebagai syarat sahnya pembayaran pajak. Pada 2019 DJP mulai mensosialisasikan penggunaan NIK sebagai NPWP bagi WP orang pribadi. Di sisi lain, sistem Coretax mulai dikembangkan sebagai sistem administrasi pajak yang lebih modern dan terintegrasi.
Di tahun 2020 hingga tahun 2022 dimana pandemi Covid melanda hal ini mendorong percepatan digitalisasi layanan pajak. Pelaporan dan konsultasi pajak dilakukan secara daring, sementara e-Bupot mulai digunakan secara nasional untuk PPh Pasal 23/26. Digitalisasi layanan pajak diperluas. Fitur-fitur seperti e-registrasi, live chat, dan updating data online mulai tersedia secara menyeluruh, memperkuat ekosistem layanan digital DJP. Implementasi NPWP format 16 digit berbasis NIK mulai diberlakukan. WP orang pribadi. Puncaknya adalah di awal tahun 2025 Indonesia memasuki fase otomatisasi administrasi perpajakan secara penuh. Wajib pajak sudah diwajibkan menggunakan sistem Coretax sebagai pemenuhan administrari dan kewajiban pajak yang berlaku. SPT mulai disusun otomatis (pre-populated) berdasarkan data pihak ketiga. Pemadanan rekening, transaksi, dan NIK menjadi dasar pemantauan kepatuhan WP, memperkuat posisi DJP sebagai otoritas yang berbasis data cukup menggunakan NIK untuk terdaftar sebagai WP, menyederhanakan proses registrasi dan validasi identitas.
Yang lebih kompleks adalah sektor digital itu sendiri—dari influencer, content creator,
hingga transaksi kripto dan e-commerce lintas negara. Pola transaksi yang borderless
menantang sistem pajak konvensional yang masih berbasis lokasi dan bentuk usaha tetap. Di
sinilah dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya regulatif, tetapi juga adaptif dan kolaboratif
lintas yurisdiksi. Agar penerimaan pendapatan secara lintas Negara ini dapat terserap sesuai dengan regulasi, salah satunya dengan cara menambah Single ID yang ada pada KSEI dengan tambahan portfolio Crypto dan Pendapatan Ecommerce sesuai dengan NIK yang terdaftar.
Bagi saya pribadi, era digital ini adalah peluang besar untuk mendorong keadilan pajak.
Ketika sistem mampu menangkap data secara akurat, maka yang seharusnya membayar akan
membayar, dan yang selama ini tidak tersentuh bisa mulai terjangkau. Tapi sekali lagi, ini
bukan hanya soal teknologi. Ini soal kepercayaan. Dan membangun kepercayaan butuh
transparansi, edukasi, dan keberpihakan pada kepentingan bersama.
Sebagai profesional yang juga menjadi wajib pajak, saya percaya bahwa digitalisasi
perpajakan harus dimaknai sebagai bagian dari perjalanan menuju sistem fiskal yang lebih
modern, adil, dan berkelanjutan. Mari kita kawal bersama.
Penulis
Y. Antika Ningsih, S.Ak., CTA, CMM, CITA, CIAPS, CPITA, CEAP, CMFC, CTPA1,
RFA. (*)